DILAN
Hai semuaa aku mau berbagi potongan cerita dari kisah DILAN.
BAB III
Berbeda dengan si Bunda, kalau dia bisa cuek. Menurutku, dia itu orang dewasa yang bisa bicara sebagai seorang anak kecil ketika sedang berbicara dengan anak yang masih kecil.
"MILEA"
SUARA DILAN
- Seperti yang diceritakan oleh Dilan
kepadaku -
(Belum diedit)
BAB I
PENGANTAR BUKU
1
Aku tidak jadi nelepon si Komar, tapi sudah membaca dua buku yang ditulis
oleh Pidi Baiq, judulnya “Dilan, Dia Adalah Dilanku Tahun 1990” dan “Dilan, Dia
adalah Dilanku Tahun 1991”.
Kebetulan kedua buku itu bercerita tentang kisah asmaraku dengan Lia (Milea
Adnan Hussain) pada waktu masih duduk di bangku SMA, tahun sembilan puluhan di
Bandung.
Sebetulnya aku tidak ingin berpikir apapun soal itu. Tapi setelah kedua
buku itu aku baca, terus terang, aku seperti merasa mendapatkan kehidupanku
yang lama sedang kembali. Otomatis semuanya serasa seperti hidup lagi.
Aku juga gak mau menilai lebih jauh mengenai isi bukunya. Tapi waktu
kubaca, aku banyak menghabiskan waktu untuk menelaah lebih jauh apa sih yang
Lia pikirin, apa sih yang Lia rasakan saat itu. Kukira semua itu bukanlah omong
kosong. Itu, buat aku pribadi, sangat menarik, termasuk aku jadi tahu bagaimana
dulu Lia memandang diriku melalui apa yang dia ungkapkan.
Meski sebagian besar yang dikatakan oleh Lia pernah Lia ungkapkan sendiri
secara langsung ke aku, tapi di buku itu, Lia seperti bercerita dengan tanpa
penghalang. Rasanya, gimana ya? Bebas merdeka tanpa tedeng aling-aling.
Di dalam buku itu, aku sendiri menikmati cukup banyak momen-momen berharga
yang diceritakan oleh Lia. Sesuatu yang perlu dipertimbangkan kalau aku ingin
kembali mengenang. Di sana Lia ngasih tahu bagaimana dia merasakan kembali
hal-hal yang sudah lama berlalu. Sampai-sampai aku mengira, dengan buku itu Lia
sedang berusaha menggali perasaanku untuk merasakan hal yang sama dengan apa
yang dia rasakan saat itu.
Aku tahu tidak ada yang bisa aku lakukan selain menghargai apa yang jadi
pendapatnya. Aku memliki rasa hormat setinggi-tingginya untuk mengatakan
kepadanya bahwa itu adalah sepenuhnya hak Lia untuk bebas bicara, dan kemudian
tetap saja semuanya adalah sejarah.
2
Samasekali gak pernah kuduga kalau kisahku dengan Lia akan ditulis jadi
buku. Dan sebetulnya aku malu, karena di buku itu aku ngerasa jadi tokoh utama
yang punya kedudukan cukup istimewa, terutama kalau Lia sudah mulai memujiku.
Juga sekaligus jadi risih, karena di situ aku betul-betul jadi kayak orang
yang amat dimaui. Seolah-olah, aku ini, yang barusan makan nasi bakar, adalah
orang yang paling menakjubkan di dunia dan juga romantis dengan apa yang pernah
aku lakukan kepadanya. Sebagian besar yang bisa aku lakukan untuk hal itu
adalah cuma tersenyum.
Tapi, kukira, kalau dulu Lia punya sikap macam itu ke aku, harusnya bisa
kuanggap sebagai hal yang normal, karena kalau ada orang yang sudah cinta ke
kamu, dia hanya akan melihat sisi baikmu. Dan kalau kamu berpikir tentang hal
ini, kebanyakan kisah cinta memang selalu dimulai dari hal macam itu.
3
Kupikir, harusnya aku merasa beruntung dengan adanya buku itu, nyatanya
memang iya. Kedua buku itu sudah membantuku mengingat masa-masa yang sudah
berlalu, maksudku aku cuma tinggal baca saja, gak usah capek-capek nulis kalau
ingin mengenang apa yang dulu pernah aku dan Lia alami.
Apalagi sebagian besar cerita yang ada di dalam buku itu, memang sangat
sesuai dengan kejadian sebenarnya, malahan aku merasa ceritanya cukup detil.
Entah bagaimana Lia bisa mengingat semuanya, padahal kejadiannya sudah lama
sekali.
4
Gak tahulah. Pokoknya aku mau berterimakasih ke Pidi Baiq, pertama-tama
untuk kedua bukunya yang kudapatkan secara gratis. Maksudku, tanpa perlu melihat
situasi ekonomi saat ini, kita perlu memahami alasan mengapa kebanyakan dari
kita lebih suka dikasih daripada membeli. Kedua, ya itu tadi, bisa membantu aku
mengingat lagi masa-masa remajaku di saat aku masih bersama dengan Lia.
Sekalian aku juga mau bilang terimakasih ke Lia, karena kata Pidi Baiq,
data dan informasi untuk menulis buku itu 60% adalah bersumber dari Lia
sendiri. Itu artinya Pidi Baiq hanya mengolah data yang bersumber dari Lia
untuk kemudian dia susun menjadi sebuah buku novel yang lengkap, dan dari apa
yang sudah dia lakukan itu, segalapuji bagi Allah, Pidi Baiq dapat uang
royalti.
“Tapi setengahnya, aku kasih ke Lia”, katanya
“Royalti?”
“Iya”, jawabnya. “Lia juga harus dapat”
Ini berarti bisa sama-sama kita katakan, bahwa buku “DILAN, dia adalah
Dilanku”, semua cerita di dalamnya berdasar pada apa yang bisa diingat dan
dikatakan oleh Lia, dan kukira itu adalah haknya karena selain diriku, Lia juga
adalah pemilik masa lalu yang bersangkut paut dengan kisah asmara antara aku
dan dia.
5
Tanggal 15 Agustus 2015, Pidi Baiq datang ke rumahku. Kami ngobrol berdua
cukup lama, terutama membahas buku itu, sampai kemudian dia bilang bahwa
katanya dia mau nulis buku “Suara Dilan”, itu membuat aku ketawa karena merasa
aneh ada novel macam gini. Dia juga ketawa, dan bilang “Suara Dilan” itu adalah
buku yang berisi kisah aku dan Lia, sama seperti buku “Dilan, dia adalah
Dilanku” tetapi bersumber dari sudut pandangku.
Hmm. Sebenarnya aku pribadi lebih suka cerita Spiderman, yaitu Spiderman
menurut versiku sendiri. Kamu harus tahu bagaimana Spiderman bisa dikalahkan
oleh hanya dua cucu Kelongwewe.
Atau kalau bukan yang itu, aku lebih suka cerita tentang si Piyan yang
pernah nyihir aku jadi seekor kucing, cuma agar dengan itu aku bisa dikejar
sampai depresi dan kehilangan nafsu makan. Si Piyan emang gitu, menurut
pribadiku dia itu sedikit lebih baik dari kuman, makanya jangan sampai kamu
heran kalau ada banyak kuman yang mau ke dia.
Cerita tentang Spiderman versiku, atau cerita tentang aku yang disihir jadi
kucing garong, kurasa lebih oke daripada harus bercerita tentang kisah asmaraku
dengan Lia. Maaf, maksudku pada situasi yang serius, sebetulnya aku merasa gak
enak kalau harus nyeritain lagi apa-apa yang dulu pernah aku alami dengan Lia,
mengingat Lianya juga sekarang sudah menjadi istri Mas Herdi yang sangat aku
hormati.
Biar bagaimanapun soal ini harus aku katakan karena, dari dasar hatiku yang
paling dalam, aku tidak ingin kelak ada salah tanggap dengan apa yang aku
ceritakan tentang Lia dan orang yang sudah bersamanya sekarang.
Samasekali aku tidak bermaksud mau berdebat soal ini, tetapi itulah yang
aku pikirkan.
6
Pidi Baiq mengerti, dan kemudian dia bilang, bahwa pada intinya bukan lagi
soal asmara. Novel “Suara Dilan” harus bisa menjadi pelajaran buat mereka yang
baca. Hah? Pelajaran macam apa? Entahlah, tapi setidaknya ada orang yang bilang
bahwa novel Dilan itu bisa dianggap seperti buku taktik menguasai wanita.
Mungkin Pidi Baiq bercanda, tetapi bisa jadi begitu oleh orang yang menganggapnya
begitu.
Katanya, di buku itu ada juga pelajaran ekonomi, terutama cerita tentang
aku ngasih kado ulangtahun berupa buku TTS yang sudah kuisi. Aku ketawa karena
aku berpikir barangkali itu berdasar pada seolah-olah aku sedang berusaha
ngajarin bagaimana caranya ngasih kado dengan biaya yang irit, meskipun jujur
saja, sebetulnya bikin capek, karena harus begadang semalaman untuk bisa
mengisi jawabannya. Tapi justeru emang di situlah nilainya: Perjuangan he he
he!
Ada juga pelajaran olah raga. Berantem itu, katanya, sama seperti olahraga.
Sama-sama melakukan gerakan badan sampai ngeluarin keringat, meskipun badan
kita jadi sakit dikarenai oleh luka! Tapi harus mikir panjang, jangan sampai
asal berantem.
Sedangkan di buku DILAN kedua, di situ sepertinya Lia banyak nangis! Tapi
katanya, itu juga memberi kita pelajaran, yaitu pelajaran Biologi, bahwa air
mata itu, air mata yang mengalir di pipi itu, adalah kelenjar yang diproduksi
oleh proses lakrimasi untuk membantu membersihkan dan melumasi mata kita he he
he.
7
Pidi Baiq terus membujukku untuk mau membantu dia mewujudkan buku “Suara
Dilan”, oke, tapi aku tidak benar-benar punya waktu yang dijadwalkan untuk
duduk dan menulis macam dia.
Juga, bukan orang terbaik yang bisa menceritakan kisah-kisah macam itu.
Tapi kalau cuma ngasih masukan sebagaimana Lia lakukan, sepertinya aku siap.
Mudah-mudahan bisa aku nikmati meskipun aku tidak pernah berpikir berencana
untuk menulis cerita macam ini.
Siaplah kalau begitu, aku mau cerita.
Siaplah kalau begitu, aku mau cerita.
Tapi maaf, kalau aku tidak sepandai Lia di dalam mengatakan perasaan. Aku
hanya akan menulis apa-apa yang diperlukan dengan tanpa harus mengulang apa
yang sudah Lia kisahkan. Semua yang aku katakan hanya akan mengacu kepada apa
yang bisa kuingat dan kepada apa yang ingin aku katakan.
Aku akan menceritakannya dengan berusaha sedikit memilah mana-mana yang aku
rasa perlu saja. Dan dengan cara tertentu aku juga akan coba mengatur, agar apa
yang aku katakan tidak sampai menyinggung perasaan seseorang yang terlibat di
dalamnya.
Cerita ini akan aku mulai dengan pengenalan singkat tentang diriku, dan
beberapa informasi yang menjadi latar belakang hidupku, baik sebagai kenangan
atau mungkin bisa dianggap sebagai sesuatu yang cukup andil di dalam
mempengaruhi sifat dan kepribadianku. Karena pengalaman akan terus sepanjang
waktu mempengaruhi hidup seseorang
Mudah-mudahan, setelah ini, kita bisa menjadi bijaksana dengan tidak
mengadili masa lalu oleh keadaan di masa kini.
BAB II
AKU
1
Langsung saja. Namaku Dilan, jenis kelamin laki-laki, bernafas menggunakan
paru-paru, sama seperti seekor paus. Tahun 1977, pernah ingin jadi macan, tapi
itu gak mungkin.
Aku lahir di Bandung, dari seorang Ibu yang oleh anaknya dipanggil Bunda,
kecuali kalau akunya sedang mau minta uang, aku memanggilnya “Bundahara”
(seperti yang sudah Lia ceritakan di dalam buku itu). Tapi aku pernah
sekali memanggilnya Sari Bunda, yaitu pada kasus di saat aku ingin makan.
Asal tahu saja, ibuku, si Bunda itu, adalah Pujakesuma, tetapi bukan bunga,
melainkan akronim dari Putri Jawa Kelahiran Sumatera, karena dia lahir di Aceh,
tepatnya di kota Sigli, ibu kota kabupaten Pidie. Dia alumnus IKIP Bandung,
jurusan Sastra dan Bahasa. Ayahnya seorang guru SD, yang dulu di daerahnya
dikenal sebagai seorang penyair kelas lokal.
Sejak nikah dengan Ayah, dia selalu dibawa pindah, yaitu ke berbagai daerah
di Indonesia. Hidup ini, kata Einstein, bagai naik sepeda. Untuk tetep bisa di
dalam keseimbangan, harus terus bergerak. Tapi bukan karena itu ayahku pindah,
melainkan karena tugas dari komandan, salah satunya ke daerah Teluk Jambe,
Karawang.
Waktu aku duduk di kelas 3 SD, kami pernah tinggal di Kabupaten Manatuto,
salah satu kota di daerah Timor-Timur yang dulu masih bagian dari wilayah
Indonesia sebagai propinsi. Terus pindah lagi ke Ambon, terus pindah lagi ke
Manahan, Solo, tapi cuma sebentar, gak tau kenapa.
Hidup berkembang, di saat anak-anak sudah mulai tumbuh besar, Bunda sudah
merasa cukup baik untuk memilih tinggal di Bandung, yaitu di kota tempat dulu
dia kuliah, sekaligus menjadi mungkin untuk bisa lebih dekat dengan
saudara-saudara ayahku yang pada tinggal di Bandung, karena ayahku adalah asli
orang Bandung.
Waktu aku duduk di kelas 5 SD, ayah membeli rumah di komplek perumahan
Riung Bandung, sebagai fasilitas untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan
mawardah di bawah iringan lagu-lagu Rolling Stones kesukaan si Bunda, dan suara
gelak tawa dari kawan-kawan kuliahnya kalau mereka sedang pada ngumpul di
rumah.
Si Bunda tidak bisa ikut ayah yang harus tinggal di rumah dinasnya di
Karawang, karena harus ngajar di salah satu SMA yang ada di Bandung. Melalui
semua itu kami hanya bisa bertemu ayah kalau ayah pulang ke Bandung, yaitu
setiap dia bebas tugas atau karena ambil cuti.
Awalnya si Bunda hanya guru biasa yang ngajar bahasa Indonesia. Entah
bagaimana, tahun 1989, dia naik jabatan menjadi seorang kepala sekolah di salah
satu SMA yang ada di Bandung. Mengenai soal ini, ada yang harus aku syukuri,
yaitu: si Bunda bukan Kepala Sekolah di SMA-ku. Sebab kalau iya, pernah aku
bayangkan aku akan dimarah dua kali, ya di sekolah ya di rumah.
Itulah ceritaku tentang si Bunda, ibuku. Jangan sampai banyak-banyak, biar
buku ini tidak melenceng menjadi buku biografi si Bunda. Apalagi Lia sudah
bercerita cukup banyak tentang si Bunda di dalam buku “Dilan, dia adalah
Dilanku”.
2
Sekarang tentang ayahku. Dia lahir di Bandung. Dulu aku mengira, pekerjaan
ayahku adalah berpindah-pindah tempat, seperti nabi Ibrahim yang nomaden,
nyatanya ayahku adalah seorang anggota TNI-AD yang suka lagu “What A Wonderful
World” nya Louis Armstrong atau “My Way” nya Frank Sinatra dan ditambah
lagu-lagu perjuangan Indonesia.
Selain sebagai seorang prajurit sejati yang lumayan cukup galak, ayahku
bisa berubah menjadi seorang pria yang manis, dan juga romantis. Dia tidak
pernah lupa nulis surat untuk kami di saat mana dia sedang jauh di tempat
tugasnya. Seperti yang bisa kuingat, dia nulis kira-kira begini: “Jangan
kuatir, ayah hanya jalan-jalan. Di sini, ayah terus gembira karena Ayah yakin
akan segera bertemu dengan kalian. Ayah tidak punya musuh. Ayah membela
Indonesia dari mereka yang mau ganggu”
Ayahku orang yang tegas kalau bicara tetapi cepat untuk tertawa. Dia dapat
berkomunikasi dengan anak-anaknya di dalam berbagai cara. Suatu hari, waktu aku
masih duduk di kelas 6 SD, aku pulang ke rumah terlalu malam karena ada acara
bersama teman-teman. Aku kaget, karena pintu rumah dibuka oleh ayah. Kupikir
dia tak akan pulang ke Bandung malam itu. Aku benar-benar berhadapan dengan
ayahku yang berdiri kokoh menghadang:
“Siapa kamu?!”, tanya dia seperti kepada orang asing. Tangannya berkacak
pinggang. Mukanya serius. Matanya menatapku dengan pandangan yang tajam.
Awalnya aku bingung, setelah aku merasa harus ikut permainannya, kujawab dia
dengan sambil memandangnya:
“Dilan!”
“Siapa ibumu?”
“Bunda!”
“Siapa ayahmu?”
“Kamu!”, jawabku spontan. Aku tidak bermaksud untuk menjawab tidak sopan.
Itu, aku menjawab dengan refleks karena dia bertanya cukup cepat. Ayah langsung
ketawa dan kamu jadi tahu dia tidak benar-benar serius menginterogasi. Aku
selalu memiliki beberapa momen terbaik bersamanya.
Sepertinya dia tahu dia memiliki waktu yang sibuk sehingga merasa harus
menghemat waktu yang baik untuk keluarganya. Jika ada waktu, kami suka pergi ke
tempat-tempat wisata di bawah jaminan tiket diskon khusus untuk keluarga
anggota ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI).
Atau jalan-jalan ke tempat-tempat yang ada di Bandung. Aku pernah diajak ke
tempat billiard di daerah Kiara Condong. Sebagai seorang anak SMP kelas satu,
tentu saja itu bukan tempat yang baik menurut para pakar pendidikan, tapi malam
minggu itu ayah mengajak aku dan kakakku pergi ke sana.
Apa yang aku dan kakak aku lakukan hanya duduk minum Green Spot dan kacang
goreng sambil nonton ayah bermain billiard. Masih bisa aku ingat waktu itu ayah
main billiard bersama Abah Apeng (Bandar togel dari Cicadas) dan Kang Ceper
(penguasa tempat itu). Tentu saja aku mengenalnya karena ayah pernah cerita
tentang mereka.
“Kalau Abah Apeng itu, bandar judi”, kata Ayahku di perjalanan kami pulang
“Gak boleh judi, Ayah”, kata Bang Landin
“Iya dong. Gak boleh,” jawab Ayah. “Ayah cuma berteman”
“Ayah ikut judi gak?”, kutanya
“Ayah sudah bilang cuma berteman”, jawab Ayah
“Iya”
“Jangan bilang ke Bunda, kita dari tempat billiard,” kata ayahku
kemudian.
“Jangan bohong, Ayah”, kata kakakku.
“Oh iya”, jawab ayahku. “Bilang ke Bunda udah dari tempat Billiar, terus
nanti kita janji gak
akan ke sana lagi”
Sesampainya di rumah, si Bundanya sudah tidur, sehingga yang buka pintu Bi
Diah. Besoknya Bunda tidak bertanya dari mana kami semalem. Syukur
alhamdulilah, sehingga dengan itu kami jadi gak perlu janji ke si Bunda untuk
tidak akan pernah datang lagi ke tempat billiard.
Tahun 1997 (kalau gak salah), yaitu waktu aku sudah tingkat akhir kuliah,
ada khabar bahwa tempat billiard itu diserbu oleh kelompok tertentu, kemudian
aku tidak pernah melihat tempat itu lagi sampai sekarang.
Aku tidak mau memberi pandangan tentang apa yang dilakukan oleh kelompok
agama itu, yang pasti, biar bagaimana pun, tempat itu menjadi salah satu
saksinya untuk banyak kenangan yang pernah aku alami bersama ayah.
Mau gimana lagi, apapun yang kau katakan, secara pribadi aku berterimakasih
kepada Ayah bahwa aku pernah punya kesempatan untuk pernah datang ke tempat itu
dan aku tidak pernah datang lagi ke tempat seperti itu sampai sekarang.
Setiap aku mengenang ayah, aku masih ingat bagaimana ayahku begitu riang
dan nyanyi dengan suara keras di kamar mandi, seolah-olah dia tidak akan pernah
lupa untuk melakukan hal itu setiap kali sedang mandi:
“Hampir malam di Jogya
Ketika keretaku tiba
Remang remang cuaca
Terkejut aku tiba tiba”
Kalau ada anaknya yang cemberut disebabkan karena ngambek oleh masalah yang
sepele, biasanya dia datang untuk duduk di sampingnya dan aku masih ingat dia
pernah bicara:
“Tak ada yang selesai dengan menangis”, katanya.
“Aku gak nangis”
“Masa ada air matanya?”
“Gak tau”, kataku langsung telungkup di atas sofa, sambil menghapus air mata
diam-diam. Aku masih TK waktu itu.
“Bunda! Air mata siapa di pipi Dilan?”, Ayah nanya ke Bunda dengan agak
teriak karena si Bundanya sedang ada di ruang tengah.
“Air matanya laaah!!”, jawab Bunda
“Bukan katanya”
“Diaaaam!”, kataku sambil terus telungkup.
Pada masa mudanya, ayahku cukup dekat dengan berbagai lapisan masyarakat.
Selain dekat dengan Pak Asni, ulama di daerahku, dia juga dekat dengan
preman-preman di wilayah tertentu yang ada di Bandung.
Kadang-kadang ayahku sering nyuruh Mang Saman untuk ngantar dia ke tempat
yang mau dia tuju, menjadi seperti sopir pribadi. Dan kamu harus tahu Mang
Saman itu siapa, dia adalah salah seorang preman yang ada di daerah
Buahbatu.
Sesekali Mang Saman suka datang ke rumahku bersama istrinya, termasuk untuk
membetulkan mobil Nissan si Bunda kalau mogok. Sedangkan istrinya akan diam di
dapur untuk membantu Bi Diah membuat masakan.
Kalau ayah lagi di rumah, kadang-kadang suka nyuruh Mang Saman ngajak aku
dan Disa jalan-jalan.
“Asiiik!”, kata Disa. Kalau gak salah waktu itu Disa masih TK dan aku sudah
kelas 5 SD (Aku hanya bisa ngira-ngira, karena benar-benar sudah lupa)
Kami pergi dengan Mang Saman menggunakan mobil Nissan. Tidak jauh, hanya
menyusuri jalan di komplek perumahan yang belum rame kayak sekarang.
Betul-betul masih sepi sehingga Mang Saman bisa nyetir dengan cara turun dari
mobil. Entah bagaimana, dia bisa melakukannya. Dia benar-benar lari di samping
mobil yang pintunya dia buka, sementara tangannya masih terus megang setir,
sehingga mobil yang sedang maju pelan bisa tetap di dalam kendalinya. Aku
ketawa menyaksikan akrobat yang hanya berlangsung sebentar itu:
“Lagiiii!!!”, kataku, setelah Mang Saman loncat dan duduk lagi di bangku
sopir.
“Udah ah”, kata Mang Saman, “Nanti dimarah Ayah”
“Ayah di rumah!”, kata Disa tiba-tiba.
Tidak jarang Mang Saman ngajak kami untuk nongkrong di warung kopi yang
dulu dikenal sebagai sarang preman, sehingga oleh itu kami bisa mengenal
beberapa orang di antaranya.
“Siapa, Man?”, tanya orang gemuk bertatto ke Mang Saman. Aku lupa namanya.
Dia memakai jaket jeans belel yang bagian tangannya digunting.
“Anak Pak Ical”, jawab Mang Saman
“Oh?”, kata dia.
“Siapa namamu?”, tanya orang itu ke aku dengan muka yang ramah
“Aku Dilan, kelas 5 SD”, kujawab dengan lantang.
“Waah”, katanya
“Aku Disa!”, Disa menjawab
“Dilan, Disa”, katanya. “Mau jajan apa?”
“Krupuk!”, kujawab sambil mengacungkan krupuk yang sebagiannya sedang
kukunyah.
“Ambil aja ya. Nanti Om yang bayar”, kata dia kemudian kepadaku.
Sekitar tahun 1983, preman-preman itu habis karena dibunuh oleh para
penembak misterius atau Petrus, entah bagaimana hatiku merasa seperti berhenti
saat itu. Banyak orang menduga Petrus adalah operasi rahasia dari Pemerintahan
Suharto untuk menanggulangi tingkat kejahatan.
Selama persitiwa itu, Mang Saman sembunyi di rumahku. Dia selamat, tapi
yang lain tidak. Mayoritas yang tewas adalah preman yang tubuhnya dipenuhi oleh
tatto. Jenazahnya dimasukin ke dalam karung dan dibuang di tempat umum, salah
satunya adalah kang Oji. Aku sedih karena anaknya Kang Oji adalah temanku,
namanya Uung. Istri Kang Oji datang ke rumahku bersama Uung dan menangis di
teras rumah di saat mereka sedang ngobrol dengan Bunda.
Aku sangat dekat dengan Mang Saman, aku pikir dia adalah temanku. Dia
meninggal tahun 1988 disebabkan oleh karena dia sakit. Sebelum meninggal dia
dikenal sebagai orang yang agamis dan menjadi pengurus DKM di salah satu masjid
yang ada di daerahnya. Siapa akan nyangka di ujung hidupnya Mang Saman menjadi
orang yang baik sekaligus dikenal sebagai seorang Muadzin. Aku melihat ayah
menangis di kuburan Mang Saman sore itu.
Itulah ayahku, sebagian tentang dia sudah Lia ceritakan di dalam buku
“Dilan, Dia Adalah Dilanku”. Biar bagaimana pun, aku merasa cerita di atas
perlu aku sampaikan untuk bisa memahami bagaimana aku tumbuh.
BAB III
KEHIDUPAN REMAJAKU
1
Waktu aku SMP, aku punya sepeda. Aku pergi sekolah dengan pake sepeda
sampai kelas 3 SMP, karena jaraknya tidak jauh dari rumahku.
Sepedaku namanya “Mobil Derek”. Dulu, kalau kamu mendengar aku pergi ke
sekolah dengan naik Mobil Derek, harusnya sudah tidak perlu kaget lagi karena
kamu sudah tahu maksudku.
Apakah dengan memberinya nama itu aku punya tujuan biar sepedaku jadi keren
dan gagah? Oh, aku gak tahu. Mungkin semacam terserah aku mau ngasih nama apa,
karena itu sepedaku. Tetapi pamanku protes. Dia itu ayahnya si Wati, namanya
Ibrahim, aku biasa memanggilnya Mang Iim.
“Masa’ sepeda namanya Mobil Derek?”.
“Iya. Namanya Mobil Derek. Mobil Derek bin Kontainer”, kataku ke dia tanpa
maksud menjawab omongannya. Itu aku bicara sebagai seorang anak kecil yang
masih duduk di bangku kelas 1 SMP.
Berbeda dengan si Bunda, kalau dia bisa cuek. Menurutku, dia itu orang dewasa yang bisa bicara sebagai seorang anak kecil ketika sedang berbicara dengan anak yang masih kecil.
“Bunda, lihat Mobil Derek?”, tanyaku ke si Bunda sambil nyari sepeda di
halaman depan rumah karena mau kupake.
“Mobil Derekmu?” Bunda nanya balik, seperti sama sedang nyari.
“Iya”
“Oh, dipake Bi Diah”, katanya kemudian. “Minjem bentar, ke warung”
“Bi Diah gak boleh naik Mobil Derek”, kataku dengan sedikit agak kesal
“Sebentar kok”
Sejak mulai kelas satu SMA, aku ke sekolah tidak pake sepeda lagi, karena
jaraknya cukup jauh. Sebetulnya bisa saja pake sepeda, tapi capek. Gak mau.
Kadang-kadang aku naik angkot ke sekolah, tapi lebih sering naik motor.
Pulangnya nongkrong di daerah Gatot Subroto, yaitu semacam warung kopi
punya Kang Ewok. Dipanggil Ewok karena dia itu brewok. Tempatnya enak untuk
nongkrong. Di sana, aku biasa kumpul bersama Burhan, Ivan dan lain-lain.
Kami bergaul dan melakukan hal bersama-sama yang nampaknya lebih
menyenangkan daripada diam gak jelas di rumah yang dulu belum ada internet. Dan
di sana juga untuk pertama kalinya aku mulai merokok, tentu dengan perasaanku
yang cemas karena kuatir ketauan sama si Bunda.
Comments
Post a Comment